Thursday, September 24, 2009

Bulutangkis Bersama Sejarah Bangsa


KOLOM HENDRI KUSTIAN
Copy dari Majalah Jurnal Bulutangkis Edisi III

Bulan Agustus selalu meriah dengan berbagai macam kegiatan dalam menyemarakkan peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Suka-cita masyarakat merayakan ulang tahun (ultah) hasil perjuangan para pahlawan juga disemarakkan dengan kegiatan olahraga.

Bulan Agustus bak sebuah turnamen olahraga berskala besar yang dilaksanakan secara swadaya dari masyarakat. Cabang favorit seperti sepakbola, bola voli, tenis meja dan bulutangkis dipertandingkan secara massal mulai dari tingkat RT, RW, desa / kelurahan, kecamatan sampai kabupaten. Pertandingan juga dimainkan dalam bentuk komunitas lainnya seperti karyawan kantor, antar sekolah maupun kelompok-kelompok masyarakat lainnya hampir di seluruh pelosok negeri.

Seharusnya rasa nasionalisme dan kecintaan pada olahraga dapat dikampanyekan dalam pesta rakyat ini karena perjuangan rakyat Indonesia bukan lagi dengan mengangkat senjata tetapi dengan menegakkan nama Indonesia di antara bangsa-bangsa lain melalui kelebihan sang Ibu Pertiwi; dan bulutangkis termasuk di dalamnya sebagai satu bentuk ‘senjata baru’ perjuangan bangsa Indonesia.

Sebuah kemenangan pebulutangkis merah-putih di turnamen bergengsi tentunya akan menjadi kado tersendiri bagi Sang Republik. Emas pertama Olimpiade oleh Susi Susanti dan Alan Budikusuma direbut pada bulan Agustus 1992.

Alangkah bangganya kalau momen kemenangan pada bulan Agustus selalu terjadi setiap tahunnya. Sayang, momen tersebut absen tahun ini. Nova Widianto/Lilyana Natsir yang menjadi tumpuan terakhir Indonesia di Kejuaraan Dunia tahun ini gagal mempersembahkan kado pada ultah RI ke-64. Sama halnya saat mereka tahun lalu gagal mempersembahkan medali emas di Olimpiade Beijing setelah sukses mencapai final pada tanggal 17 Agustus tahun 2008.

Beruntung saat itu di Beijing Indonesia masih mendapat kado ultah dari pasangan ganda putra, Markis Kido/Hendra Setiawan yang meraih emas ganda putra. Bahkan pasangan ini dengan bangga mengikuti upacara peringatan kemerdekaan RI ke-63 di Kedutaan Besar Indonesia di China dengan kalungan emas di leher.


₪ ₪ ₪

Proklamasi kemerdekaan telah membuat sejarah terbagi menjadi dua fase, yakni, sebelum dan sesudah hari kemerdekaan.

Pada fase sebelum kemerdekaan, Indonesia belum bisa berdiri tegak sebagai suatu bangsa karena terkungkung oleh kekuasaan asing. Tetapi pada masa tersebut, bulutangkis sebenarnya telah menjadi olahraga rakyat selain sepakbola. Bulutangkis dimainkan dimana saja asal terdapat tanah lapang, dan memakai alat-alat sederhana seperti raket kayu dan kok bulu angsa.

Dalam buku Sejarah Bulutangkis Indonesia disebutkan bahwa hanya rakyat biasa yang suka bermain bulutangkis, sedangkan penjajah Belanda maupun orang Eropa yang tinggal di Indonesia lebih senang membuat klub tenis dan sepakbola yang dinilai lebih elit.

Ketika pendudukan beralih dari Belanda ke bangsa ras kuning, Jepang pada tahun 1942, bulutangkis pun didandani ulang. Istilah badminton yang sebelumnya digunakan akhirnya diganti karena berbau kebarat-baratan. Ketua Ikatan Sport Indonesia (ISI) melontarkan gagasan nama “bulutangkis” yang kemudian digunakan pada kejuaraan tahun 1942 di Solo. Akhirnya istilah bulutangkis menjadi istilah bahasa Indonesia yang dipergunakan hingga sekarang.

Masa sesudah kemerdekaan tidak diragukan lagi telah mengantarkan Indonesia sebagai negara raksasa bulutangkis dunia. Secara umum, hanya China yang mampu melebihi prestasi Indonesia berdasarkan jejak Indonesia di turnamen besar seperti Piala Thomas, Piala Uber, Olimpiade dan Kejuaraan Dunia.

Tetapi catatan sejarah tidak datang dengan sendirinya. Tonggak itu bermula dari perjuangan para tokoh-tokoh bulutangkis yang mendirikan Persatuan Bulutangkis Indonesia (PBSI) pada tanggal 5 Mei 1951.

Bersamaan dengan pendirian PBSI, digelarlah pertandingan bulutangkis beregu yang mempertemukan tim Jakarta melawan tim Bandung di final. Tim Jakarta yang diperkuat Ferry Sonneville, Tjan Tjin Ho, The Giok Soey memenangkan pertandingkan atas tim Bandung yang diperkuat oleh Eddy Yusuf dan Rusdi.

Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf kemudian menjadi tulang punggung bersama rekan-rekannya yang lain memperkuat regu Piala Thomas Indonesia yang merebut piala tersebut untuk pertama kalinya pada tahun 1958. Sejak itu, Indonesia dikenal dunia karena kehebatan pebulutangkisnya.

Dan inilah tugas mulia para generasi penerus bangsa: terus berjuang agar keperkasaan Indonesia di cabang bulutangkis dapat kekal dan abadi laiknya kemerdekaan bangsa ini.

No comments: