Tuesday, September 29, 2009

INDONESIA MASIH ADA DAN ADA DIMANA-MANA

CATATAN KECIL HENDRI KUSTIAN

Akhir minggu lalu (27/09) perhatian pecinta bulutangkis Indonesia tertuju pada penampilan pemain-pemain Indonesia yang tampil di Japan Open Superseries. Dahaga gelar juara superseries selepas Nova Widianto/Lilyana Natsir menjuarai Malaysia Open Superseries bulan Januari lalu akhirnya terobati pada Japan Open Superseries ini. Pasangan Markis Kido/Hendra Setiawan menyiram dahaga itu dengan gelar juara ganda putra. Apresiasi juga layak disematkan pada pasangan Rian Sukmawan/Yonathan Suryatama yang berhasil menembus final setelah menaklukkan juara dunia 2005, Tony Gunawan/Howard Bach (USA) di semifinal. Demikian halnya dengan Simon Santoso yang walaupun kalah dari Taufik Hidayat di semifinal tetapi sebelumnya mampu menundukkan pemain peringkat satu dunia Lee Chong Wei (MAS). Pencapaian ini menjadi sinyal bahwa Indonesia masih ada di tataran bulutangkis dunia walaupun tidak sehebat masa jaya-nya.

Berbicara eksistensi Indonesia maka marilah kita melirik ke sebuah turnamen kecil di daratan Eropa, Czech International 2009. Turnamen yang finalnya berlangsung pada hari yang sama dengan final Japan Open ini telah mengantarkan Indonesia merebut satu gelar juara melalui Indra Viki Okvana/Gustiani Megawati dinomor ganda campuran. Pasangan ini berhasil menundukkan seterunya Mads Conrad Petersen/Anne Skelbaek dari Denmark dengan skor 21-11, dan 21-13. Sekeping gelar juara turnamen kecil sekelas 'International Series' memang tidak menggaung beritanya tetapi yang patut dicatat bahwa mereka juara bukan dikirim oleh naungan pebulutangkis Indonesia, PBSI. Mereka bermain di Eropa dengan perjuangan sendiri dalam meniti karir sekaligus membawa nama Indonesia. Apalagi kedua pemain ini bukanlah pemain yang sudah terkenal yang menarik sponsor-sponsor besar untuk membiayai tur-nya.

Hal menarik juga dari turnamen ini adalah serbuan nama-nama Indonesia yang tetap berbendera Indonesia atau negara asal klub yang dibelanya. Dari nomor tunggal putra terdapat nama juara Asia Yunior 2001, Ardiansyah yang kandas dibabak kualifikasi. Dari babak utama ada nama Wisnu Haryo putro yang membela Italia yang bertahan sampai babak kedua. Terdapat pula nama Rizky Kurniawan yang meskipun tetap menggunakan bendera Indonesia tetapi berpasangan dengan pemain tuan rumah Ceko, Alzbeta Basova di ganda campuran dan pemain Denmark Tore Vilhemsen di sektor ganda putra.

Nama-nama pemain diatas menambah daftar pemain Indonesia yang lebih dulu berlaga baik untuk klub maupun negara Eropa. George Rimarcdi merupakan salah satu pemain Indonesia yang sukses menjadi juara nasional Swedia tahun 2006 dan Vidre Wibowo runner-up kejuaraan nasional Swedia tahun 2005. Dari negeri kincir angin, Belanda tercatat keturunan Indonesia, Dicky Palyama yang menjuarai kejurnas negeri setempat dari tahun 2005 sampai 2008. Ditambah lagi mantan bintang Indonesia, Mia Audina yang juara nasional Belanda 2006 ini telah menyumbangkan prestasi Internasional buat negara barunya termasuk medali perak Olimpiade 2004. Perancis memiliki Weny Rahmawati yang menjadi juara nasional Parancis dari sektor ganda putri tahun 2005 dan 2007 serta ganda campuran 2005. Pemain-pemain lainnya yang sempat membela negara Eropa antara lain pasangan Flandy Limpele/Eng Hian (Inggris), Darma Gunawi (Jerman), Ruben Gordown Khosadalina (Spanyol), Stenny Kusuma (Spanyol), Cynthia Tuwankota (Swiss) dan Yohannes Hogianto (Swiss). Bahkan nama terakhir menemukan tambatan hatinya dari gadis asli Swiss seperti yang termuat dalam profilnya di Majalah Jurnal Bulutangkis edisi ketiga.

Bukan hanya benua Eropa saja yang tertarik menggunakan jasa pemain Indonesia. Benua Amerika terutama Amerika Serikat bahkan meraih juara dunia melalui sabetan tangan seorang Tony Gunawan. Selain Tony, masih ada pemain lain yang membela negara paman Sam tersebut diantaranya Halim Haryanto, Chandra Kowi dan Mona Santoso. Singapura merupakan negara tetangga yang paling getol menarik pemain Indonesia. Singapura dibela pemain sekelas Ronald Susilo, Hendri Kurniawan, Hendra Saputra, Sari Shinta Mulia sampai pemain yunior, Ivannaldy Febrian. Sebenarnya pemain Indonesia yang telah memperkuat Singapura jauh lebih banyak tetapi sebagian memilih pulang kampung karena keharusan memilih kewarganegaraan yang ditetapkan pemerintah Singapura padahal sebelumnya cukup dengan status 'permanent resident'. Sementara itu mantan pemain nasional Minarti Timur memilih melanjutkan karirnya di Pilipina, sedangkan Yohan Hadikusuma masih aktif membela Hongkong.

Petualangan pemain-pemain Indonesia menunjukkan citra sebagai negara bulutangkis yang mempunyai dua sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah menunjukkan eksistensi Indonesia sebagai negara bulutangkis semakin diakui. Tetapi dapat sisi negatifnya terdapat gejala pemain-pemain yunior potensial ikut dilirik negara lain yang tentunya mengurangi bibit-bibit bintang masa depan Indonesia. Disinilah perlu kejelian dari kompenen bulutangkis untuk mencermati baik buruknya eksodus pemain untuk perkembangn bulutangkis Indonesia di masa depan.

Sebagai kalimat penutup bahwa keberhasilan Markis Kido/Hendra Setiawan menunjukkan Indonesia masih ada, sementara banyaknya eksodus pemain keluar negeri menunjukkan Indonesia ada dimana-mana. Semoga kedua peristiwa akan membawa bulutangkis Indonesia selalu berjaya.

Hendri Kustian (hendri_kustian@yahoo.com)
Kolomnis 'Majalah Jurnal Bulutangkis'

LITBANG, GALILAH ILMU CHINA

CATATAN KECIL HENDRI KUSTIAN
LITBANG, GALILAH ILMU CHINA

Turnamen China Master yang berakhir minggu lalu (20/09), mengukuhkan dominasi dan regenerasi pebulutangkis China. Tuan rumah menguasai empat nomor final sesama pemain China. Bahkan dua diantaranya dijuarai oleh muka-muka baru ditunggal putri melalui Wang Shixian dan pasangan ganda campuran, Tao Jiaming/Wang Xiaoli. Negeri tirai bambu ini seakan tidak terputus melahirkan pebulutangkis-pebulutangkis handal.

Khusus untuk tunggal putri, China seakan telah membuat berlapis-lapis generasi. Masih ingat di benak pecinta bulutangkis ketika ajang superseries tahun pertama di gelar tahun 2007, China merebut sembilan dari dua belas gelar tunggal putri yang terdistribusi pada Xie Xingfang (5 gelar), Zhang Ning (2), Zhu Lin (1) dan Lu Lan (1). Tahun 2008 lalu ketika prestasi pemain-pemain papan atas seperti Xie Xingfang, Lu Lan dan Zhu Lin masih diperhitungkan, Wang Yihan menggebrak dengan menjuarai Japan Open Superseries yang diikuti oleh rekannya Wang Lin yang menggenggam Denmark dan France Open SS serta Jiang Yanjiao berjaya di China Open SS. Tahun ini muncul lagi talenta-talenta baru yang langsung menyeruak keatas. Wang Shixian yang baru saja menjuarai China Master sebelumnya telah meraih gelar Malaysia Open GPG. Dua rekannya lainnya Wang Xin menjadi kampiun di Philippine Open GPG dan Liu Jian memenangkan Thailand Open GPG. Sekarang China setidaknya memiliki tiga lapis generasi tunggal putri yang berprestasi dalam waktu bersamaan yaitu lapis pertama Xie Xingfang, Zhu Lin dan Lu Lan. Kemudian Wang Yihan, Wang Lin dan Jiang Yanjiao lalu disusul Wang Shixian, Wang Xin dan Liu Jian. Lapis ini belum dihitung pemain-pemain yunior lainnya yang sudah siap merangkak keatas seperti juara Asia Yunior 2008 Li Xuaerui dan juara Asia Yunior 2009, Chen Xiaojia.

Walaupun tidak sehebat di tunggal putri, nomor-nomor lain China tetap terdepan dalam regenerasi. Pemain tunggal putra, Chen Long mulai menebar ancaman bagi pebulutangkis lainnya dengan menjuarai Philippine Open GPG dan menaklukkan maestro bulutangkis Indonesia, Taufik Hidayat. Sektor ganda putri diwakili oleh perkasanya Cheng Su / Zhao Yunlei sejak akhir tahun lalu disamping pasangan Du Jing/Yu Yang yang lebih dulu mapan. Demikian pula di ganda campuran ketika Ma Jin berhasil memerankan pengganti Gao Ling untuk menjadi pasangan Zheng Bo dan meraih juara dibeberapa turnamen. Disamping itu China mengandalkan pasangan lainnya He Hanbing/Yu Yang serta juara China Master 2009 Tao Jiaming/Wang Xiaoli. Wang Xiaoli sendiri juga berprestasi diganda putri bersama Ma Jin. Satu-satunya regenerasi China yang terbilang lemah adalah nomor ganda putra dimana belum terlihat pengganti sekuat pasangan Fu Haifeng/Cai Yun.

"Belajarlah sampai ke negeri China". Sebuah kalimat bijak pantas menjadi pembelajaran bagi insan bulutangkis Indonesia. Kita harus mengakui bahwa China lebih baik dari Indonesia dalam pembinaan bulutangkis. Jadi tidak ada salahnya mempelajari kunci-kunci sukses China. Tetapi itu sulit dilakukan karena China sendiri belum tentu mau berbagi resep kepada negara lain dalam sistem pembinaannya. Minimal Indonesia bisa melihat keseriusan China dengan menggelar dua turnamen sekelas superseries yaitu China Master dan China Open selain ajang Piala Sudirman. Dari turnamen seperti ini pemain-pemain muda akan memperoleh pengalaman bertemu dengan pemain level atas dunia yang sulit didapatkan kalau turnamen itu berlangsung diluar negeri. Ketika China Master kurang diminati pebulutangkis kelas atas dari Indonesia dan Korea, tuan rumah masih mempunyai keuntungan lain dengan naiknya peringkat pemainnya karena mendulang poin yang besar di superseries. Sebagai contoh sang juara, Wang Shixian naik dari peringkat ke-64 menjadi ke-39. Demikian pula rekannya Wang Xin yang menembus semifinal naik dari peringkat 72 pekan sebelumnya menjadi peringkat ke-48. Bukan tidak dengan bekal tersebut, keduanya bisa peringkat 20 besar dunia pada akhir tahun ini.

Berbicara mengenai turnamen Internasional, Indonesia tidak hanya tertinggal dari China tetapi juga dari negeri tetangga Malaysia. Tahun ini Malaysia menggelar turnamen Malaysia Open Superseries dan Malaysia Open Grand Prix Gold. Padahal Malaysia harus menggelar hajatan lainnya yakni Kejuaraan dunia Yunior dan Kejuaraan Asia Yunior serta sebuah turnamen kelas Challenge yang belum ditentukan kepastiannya November mendatang. Indonesia hanya sebanding dengan Korea yang menggelar satu turnamen superseries, satu turnamen Challenge dan satu turnamen International lainnya yakni kejuaraan Asia untuk Korea dan Tangkas Alfamart Open untuk Indonesia. Dalam sebuah acara Ka. Bid. Turnamen PBSI, Mimi Irawan mengatakan bahwa kemungkinan baru tahun 2011, Indonesia bisa menggelar turnamen Grand Prix Gold sebagai tambahan Indonesia Open Superseries.

Keseriusan dalam peningkatan prestasinya diperlihatkan pula oleh India dimana mereka menggelar kejuaraan dunia, India Open Grand Prix Gold dan India Open Grand Prix. Prestasi pemain-pemain India telah memperlihatkan peningkatan yang cukup baik. Pemain putri, Saina Nehwal berhasil menggengam juara Indonesia Open SS, kemudian pasangan ganda putra Rapesh Kummar/Thomas Sanave memenangkan New Zealand Open GP dan teranyar pasangan ganda campuran Diju V/Jwala Gutta menjuarai Taepei Open GPG setelah difinal mengalahkan pasangan Indonesia Hendra A Gunawan/Vita Marissa.

Ilmu China lainnya yang perlu diteliti oleh PBSI adalah masalah cedera pemain. Kita jarang sekali mendengar pemain Pelatnas-nya China absen turnamen karena cedera. Kalaupun ada yang cedera lebih banyak di pertandingan sesama China yang dengan kata lain bahwa cedera-nya pemain China patut dipertanyakan kebenarannya. Pemain Pelatnas Indonesia banyak sekali yang rentan cedera seperti yang pernah dialami Sonny Dwi Kuncoro, Maria Kristin, Firdasari Andrianti, Markis Kido, Muhammad Ahsan dan pemain-pemain papan atas lainnya. Disinilah peran Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) seharusnya berperan menemukan pola latihan yang tepat bagi atlet Indonesia untuk menghindari cedera. Pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi keharusan bagi bulutangkis Indonesia.

Kalau banyak organisasi di Indonesia menganggap Litbang sebagai pelengkap atau pemanis organisasi. Seringkali Litbang dipelesetkan sebagai singkatan dari "sulit berkembang". Maka sudah saatnya paradigma itu berubah. Divisi Litbang PBSI diharapkan menjadi garda terdepan untuk menggali ilmu-ilmu China lainnya untuk ditelaah menjadi pola yang tepat bagi Indonesia. Dengan berperannya Litbang diharapkan pemain-pemain tidak hanya dituntut latihan yang keras tetapi juga latihan yang tepat.

Hendri Kustian, hendri_kustian@yahoo.com
Kolomnis Majalah Jurnal Bulutangkis

Thursday, September 24, 2009

Bulutangkis Bersama Sejarah Bangsa


KOLOM HENDRI KUSTIAN
Copy dari Majalah Jurnal Bulutangkis Edisi III

Bulan Agustus selalu meriah dengan berbagai macam kegiatan dalam menyemarakkan peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Suka-cita masyarakat merayakan ulang tahun (ultah) hasil perjuangan para pahlawan juga disemarakkan dengan kegiatan olahraga.

Bulan Agustus bak sebuah turnamen olahraga berskala besar yang dilaksanakan secara swadaya dari masyarakat. Cabang favorit seperti sepakbola, bola voli, tenis meja dan bulutangkis dipertandingkan secara massal mulai dari tingkat RT, RW, desa / kelurahan, kecamatan sampai kabupaten. Pertandingan juga dimainkan dalam bentuk komunitas lainnya seperti karyawan kantor, antar sekolah maupun kelompok-kelompok masyarakat lainnya hampir di seluruh pelosok negeri.

Seharusnya rasa nasionalisme dan kecintaan pada olahraga dapat dikampanyekan dalam pesta rakyat ini karena perjuangan rakyat Indonesia bukan lagi dengan mengangkat senjata tetapi dengan menegakkan nama Indonesia di antara bangsa-bangsa lain melalui kelebihan sang Ibu Pertiwi; dan bulutangkis termasuk di dalamnya sebagai satu bentuk ‘senjata baru’ perjuangan bangsa Indonesia.

Sebuah kemenangan pebulutangkis merah-putih di turnamen bergengsi tentunya akan menjadi kado tersendiri bagi Sang Republik. Emas pertama Olimpiade oleh Susi Susanti dan Alan Budikusuma direbut pada bulan Agustus 1992.

Alangkah bangganya kalau momen kemenangan pada bulan Agustus selalu terjadi setiap tahunnya. Sayang, momen tersebut absen tahun ini. Nova Widianto/Lilyana Natsir yang menjadi tumpuan terakhir Indonesia di Kejuaraan Dunia tahun ini gagal mempersembahkan kado pada ultah RI ke-64. Sama halnya saat mereka tahun lalu gagal mempersembahkan medali emas di Olimpiade Beijing setelah sukses mencapai final pada tanggal 17 Agustus tahun 2008.

Beruntung saat itu di Beijing Indonesia masih mendapat kado ultah dari pasangan ganda putra, Markis Kido/Hendra Setiawan yang meraih emas ganda putra. Bahkan pasangan ini dengan bangga mengikuti upacara peringatan kemerdekaan RI ke-63 di Kedutaan Besar Indonesia di China dengan kalungan emas di leher.


₪ ₪ ₪

Proklamasi kemerdekaan telah membuat sejarah terbagi menjadi dua fase, yakni, sebelum dan sesudah hari kemerdekaan.

Pada fase sebelum kemerdekaan, Indonesia belum bisa berdiri tegak sebagai suatu bangsa karena terkungkung oleh kekuasaan asing. Tetapi pada masa tersebut, bulutangkis sebenarnya telah menjadi olahraga rakyat selain sepakbola. Bulutangkis dimainkan dimana saja asal terdapat tanah lapang, dan memakai alat-alat sederhana seperti raket kayu dan kok bulu angsa.

Dalam buku Sejarah Bulutangkis Indonesia disebutkan bahwa hanya rakyat biasa yang suka bermain bulutangkis, sedangkan penjajah Belanda maupun orang Eropa yang tinggal di Indonesia lebih senang membuat klub tenis dan sepakbola yang dinilai lebih elit.

Ketika pendudukan beralih dari Belanda ke bangsa ras kuning, Jepang pada tahun 1942, bulutangkis pun didandani ulang. Istilah badminton yang sebelumnya digunakan akhirnya diganti karena berbau kebarat-baratan. Ketua Ikatan Sport Indonesia (ISI) melontarkan gagasan nama “bulutangkis” yang kemudian digunakan pada kejuaraan tahun 1942 di Solo. Akhirnya istilah bulutangkis menjadi istilah bahasa Indonesia yang dipergunakan hingga sekarang.

Masa sesudah kemerdekaan tidak diragukan lagi telah mengantarkan Indonesia sebagai negara raksasa bulutangkis dunia. Secara umum, hanya China yang mampu melebihi prestasi Indonesia berdasarkan jejak Indonesia di turnamen besar seperti Piala Thomas, Piala Uber, Olimpiade dan Kejuaraan Dunia.

Tetapi catatan sejarah tidak datang dengan sendirinya. Tonggak itu bermula dari perjuangan para tokoh-tokoh bulutangkis yang mendirikan Persatuan Bulutangkis Indonesia (PBSI) pada tanggal 5 Mei 1951.

Bersamaan dengan pendirian PBSI, digelarlah pertandingan bulutangkis beregu yang mempertemukan tim Jakarta melawan tim Bandung di final. Tim Jakarta yang diperkuat Ferry Sonneville, Tjan Tjin Ho, The Giok Soey memenangkan pertandingkan atas tim Bandung yang diperkuat oleh Eddy Yusuf dan Rusdi.

Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf kemudian menjadi tulang punggung bersama rekan-rekannya yang lain memperkuat regu Piala Thomas Indonesia yang merebut piala tersebut untuk pertama kalinya pada tahun 1958. Sejak itu, Indonesia dikenal dunia karena kehebatan pebulutangkisnya.

Dan inilah tugas mulia para generasi penerus bangsa: terus berjuang agar keperkasaan Indonesia di cabang bulutangkis dapat kekal dan abadi laiknya kemerdekaan bangsa ini.

PERSAINGAN KLASIK INDONESIA DAN CHINA


KOLOM HENDRI KUSTIAN
Copy dari Majalah Jurnal Bulutangkis Edisi II

Kejuaraan dunia selalu menjadi pertaruhan gengsi negara-negara besar bulutangkis. Hasil yang dicapai negara-negara kuat bulutangkis bisa dijadikan tolak ukur keberhasilan dalam pembinaan atlet-atletnya. Fakta menunjukkan bahwa China dan Indonesia telah menunjukkan konsistensi pada perburuan gelar juara dunia. Keberhasilan kedua negara ini dapat dikatakan merupakan keberhasilan dalam melakukan regenerasi pembinaan pemainnya.

Jika ditotal, jumlah gelar yang dikumpulkan China dan Indonesia sebanyak 57 gelar atau sekitar 71 persen dari total gelar juara. Ini berarti hanya 29 persen gelar juara yang terselip dari kedua negara tersebut. Bahkan pada penyelenggaraan terakhir dua tahun lalu di Kuala Lumpur, Indonesia dan China tidak menyisakan gelar juara bagi negara lain. China unggul dengan tiga gelar juara, sedangkan Indonesia merebut dua gelar juara.

Persaingan antara Indonesia dan China ditunjukkan dari jumlah gelar juara dunia yang dikumpulkan. China unggul dalam pengumpulan gelar juara sebanyak 39 gelar juara sedangkan Indonesia memperoleh 18 gelar juara. Perolehan tersebut jauh diatas negara lain seperti Korea (9), Denmark (8,5) dan Inggris (2,5).

Beberapa negara yang sempat mencuri satu kali juara adalah Jepang, Amerika Serikat dan Swedia. Uniknya, Swedia memperoleh gelar juara tersebut dua kali di partai ganda campuran dimana atilt Swedia berpasangan dengan atlit non-Swedia. Sementara negara adidaya bulutangkis lainnya, Malaysia masih memendam rasa penasarannya karena belum pernah sekalipun menjadi juara dunia.

Pada nomor paling bergengsi tunggal putra, Indonesia dan China sama-sama mencatatkan enam nama pemainnya dalam daftar juara dunia. China diwakili oleh Han Jian, Yang Yang, Zhao Jianhua, Sun Jun, Xia Xuanze dan Lin Dan. Sedangkan Indonesia melalui Rudy Hartono, Icuk Sugiarto, Joko Suprianto, Hariyanto Arbi, Hendrawan dan Taufik Hidayat. Hanya terselip dua nama pemain Denmark, Flemming Delfs dan Peter Rasmussen di antara persaingan Indonesia dan China.

Walaupun secara jumlah, pemain Indonesia dan China sama banyaknya tetapi China lebih unggul dalam jumlah gelar. Peta pertarungan tahun 2009 ini menjadi menarik karena China dan Indonesia sama-sama berpeluang menorehkan pemain terbanyak meraih juara dunia tunggal putra. Peluang ini bisa diperoleh pemain yang sudah pernah juara dunia seperti Taufik Hidayat dan Lin Dan atau bisa juga dari pemain angkatan di bawahnya seperti Sony Dwi Kuncoro (Indonesia) atau Chen Jin (China). Tentunya di antara kedua negara itu terselip Malaysia yang berharap meraih gelar juara tunggal putra untuk pertama kalinya dari pemain nomor satu dunia, Lee Chong Wei.

Ganda campuran menjadi satu-satunya nomor dengan kekuatan dan regenerasi yang merata. China, Indonesia, Korea, Denmark, Swedia dan Inggris secara bergantian menjadi juara. Pada nomor ini Indonesia dan China bernasib sama dengan masing-masing tiga kali juara. Indonesia meraihnya melalui Christian Hadinata/Imelda Kurniawan (1980) dan Nova Widianto/Lilyana Natsir (2005 dan 2007). Sementara kubu China menikmatinya dari Wang Fengreng/Si Fangjing (1987), Li Yong/Ge Fei (1997) dan Zhang Jun/Gao Ling (2001). Pada nomor ini, Korea menjadi pengumpul juara terbanyak dengan lima gelar juara.

Ganda Putra, Kekuatan Indonesia selama Bertahun-tahun
Indonesia mempunyai keunggulan dalam regenerasi nomor ganda putra. Tujuh pasang ganda Indonesia berhasil menjadi juara dunia setelah mengungguli China dan Korea . Keperkasaan Indonesia di nomor ini seperti sudah melegenda. Siapa yang tidak kenal kehebatan para juara dunia merah-putih ini? Sebutlah, Tjun Tjun/Johan Wahyudi (1977), Christian Hadinata/Ade Chandra (1980), Ricky Subagja/Rudy Gunawan (1993), Ricky Subagja/Rexy Mainaky (1994), Candra Wijaya/Sigit Budiarto (1995), Tony Gunawan/Halim Haryanto (2001) serta Markis Kido/Hendra Setiawan (2007). Kita pun tidak melupakan Tony Gunawan yang juga meraih gelarnya saat membela Amerika Serikat tahun 2005 berpasangan dengan Howard Bach.

Sementara China hanya meraih gelar melalui Li Yongbo/Tian Bingyi (1987 dan 1989) dan Fu Haifeng/Cai Yun (2006); Korea melalui Park Joo Bong/Kim Moon Soo (1985 dan 1991) dan Kim Dong Moon/Ha Tae Kwon (1999); serta Denmark dari Steen Faldberg/Jasper Helledie (1983) dan Lars Paaske/Jonas Rasmussen (2003).

Putri Masih Bercapkan China

Nomor-nomor putri telah menjadi trademark China. China meraih dua belas kali juara dunia tunggal putri melalui delapan pemainnya yaitu Li Lingwei, Han Aiping, Tan Jiuhong, Ye Zhaoying, Gong Ruina, Zhang Ning, Xie Xingfang dan Zhu Lin. Hanya Indonesia dan Denmark yang bisa menyelah pemain-pemain China tersebut. Indonesia menjadi juara dunia melalui Verawati Fajrin (1980) dan Susi Susanti (1993) sedangkan Denmark melalui Lenne Koppen (1977) dan Camilla Martin (1999).

Keperkasaan China juga ditunjukkan pada nomor ganda putri dengan lima belas kali juara dunia. Bahkan sejak China mulai ikut serta sejak tahun 1983 sampai dengan penyelenggaraan terakhir dua tahun lalu, hanya sekali saja gelar juara dunia dicuri negara lain. Itu terjadi pada tahun 1995 ketika gelar juara jatuh ke tangan pasangan Korea Selatan Gil Young Ah/Jang Hye Ock.

Tahun ini, India akan menjadi saksi apakah duel China dan Indonesia kembali terjadi dan sektor putri masih bernuansa China. Yang pasti, negara-negara lain juga bersiap diri untuk menghadapi keperkasaan Indonesia dan China.

Rekor


KOLOM HENDRI KUSTIAN
copy dari Majalah Jurnal Bulutangkis Edisi I

REKOR

Mengejar rekor sedang menggeliat di tanah air. Gejala ini semakin marak sejak dibentuknya Museum Rekor Indonesia (MURI). Berbagai rekor lebih banyak meliputi bidang sosial kemasyarakatan. Elemen masyarakat dan institusi berlomba-lomba membuat rekor seperti masak nasi goreng terbanyak, kue terbesar dan ter-ter lainnya. Pemecahan bermacam-macam rekor menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang dapat mencapainya.

Bidang olahraga sudah sepatutnya menggagas Museum Rekor Olahraga Indonesia. Rekor prestasi olahraga Indonesia belum terdata dengan baik terutama untuk olahraga permainan seperti bulutangkis. Padahal dunia saja mencatat seorang pebulutangkis Indonesia, Rudy Hartono dalam buku Guiness Book of Record atas prestasi-nya sebagai pemain tunggal putra terbanyak menjuarai turnamen All England. Rekor lain yang sempat dikenal daalam dunia perbulutangkisan adalah rekor kecepatan smash. Pemegang rekor tersebut adalah pemain ganda putra China dengan kecepatan 332 km / jam yang dibuatnya pada Piala Sudirman tanggal 3 Juni 2005. Khusus untuk tunggal putra rekor kecepatan smash milik Taufik Hidayat dengan kecepatan 305 km / jam.

Menjelang digelarnya turnamen bulutangkis Indonesia Open membuat saya tertarik untuk menggali rekor turnamen ini. Rekor yang paling mudah dilihat amati adalah pemegang gelar juara terbanyak. Ada lima nama pemain yang perolehan gelarnya sama. Mulai dari singelar Ardi Wiranata meraih juara tahun 1990, 1991, 1992, 1994, 1995 dan 1997. Prestasi Ardi bersaing dengan yuniornya Taufik Hidayat yang menjadi juara tahun 1999, 2000, 2002, 2003, 2004 dan 2006. Nomor tunggal putri diwakili Susi Susanti yang memenangkan Indonesia terbuka tahun 1989, 1991, 1994, 1995, 1996 dan 1997. Dua nama lagi merupakan pasangan ganda campuran Trikus Haryanto / Minarti Timur yang juara lima kali berturut-turut tahun 1995-1999. Trikus melengkapi menjadi enam gelar setelah juara ganda campuran 2001 berpasangan dengan Emma Ermawati. Sedangkan Minarti Timur menambah gelarnya setahun kemudian bersama Bambang Suprianto. Dari lima pemain dengan perolehan gelar juara yang sama tersebut, hanya Taufik Hidayat yang berpeluang memecahkan rekor meraih gelar juara terbanyak dari pemain lainnya. Hal ini disebabkan pemain-pemainnya lainnya sudah gantung raket.

Ivana Lie membuat rekor tersendiri sebagai pemain pertama yang mampu juara di tiga nomor sekaligus. Walaupun tidak dalam tahun yang sama, Ivana Lie menjuarai tunggal putri, ganda putri dan ganda campuran. Juara tunggal putri diperolehnya pada tahun 1983 sekaligus Ivana Lie merebut juara ganda campuran berpasangan dengan Christian Hadinata. Sedangkan gelar ganda putri dicatatnya pada tahun 1996 bersama Verawati Pajrin. Prestasi Ivana tersebut hanya mampu diikuti oleh satu pemain saja selama 17 tahun penyelenggaraan Indonesia Open. Pemain tersebut adalah rekannya sendiri Verawati yang sebelum meraih juara ganda putri bersama Ivana, telah meraih juara tunggal putri tahun 1982. Verawati melengkapi koleksi juara pada nomor ganda campuran tahun 1989 berpasangan dengan Eddy Hartono.

Sebenarnya banyak rekor yang bisa digali dari sebuah turnamen seperti Indonesia Open. Sebagai contoh rekor pemain tampil paling sering, pertandingan terlama, pertandingan tercepat, pemakaian suttle cock terbanyak dalam satu pertandingan dan masih banyak lagi. Rekor-rekor tersebut sebagaimana rekor-rekor dalam bidang lain bukan sekedar pencatatan belaka. Terdapat nilai kebanggaan atas sebuah rekor prestasi bagi sang pemain. Sedangkan bagi penonton dan penggemar, rekor menimbulkan rasa penasaran tersendiri untuk pecahnya rekor berikutnya. Jadi minat penggemar bulutangkis bisa dipancing dari sisi ini. Semoga diwaktu yang akan datang terdapat sebuah lembaga yang melakukan pencatatan dan penilaian terhadap rekor-rekor dari arena bulutangkis.