CATATAN KECIL HENDRI KUSTIAN
LITBANG, GALILAH ILMU CHINA
Turnamen China Master yang berakhir minggu lalu (20/09), mengukuhkan dominasi dan regenerasi pebulutangkis China. Tuan rumah menguasai empat nomor final sesama pemain China. Bahkan dua diantaranya dijuarai oleh muka-muka baru ditunggal putri melalui Wang Shixian dan pasangan ganda campuran, Tao Jiaming/Wang Xiaoli. Negeri tirai bambu ini seakan tidak terputus melahirkan pebulutangkis-pebulutangkis handal.
Khusus untuk tunggal putri, China seakan telah membuat berlapis-lapis generasi. Masih ingat di benak pecinta bulutangkis ketika ajang superseries tahun pertama di gelar tahun 2007, China merebut sembilan dari dua belas gelar tunggal putri yang terdistribusi pada Xie Xingfang (5 gelar), Zhang Ning (2), Zhu Lin (1) dan Lu Lan (1). Tahun 2008 lalu ketika prestasi pemain-pemain papan atas seperti Xie Xingfang, Lu Lan dan Zhu Lin masih diperhitungkan, Wang Yihan menggebrak dengan menjuarai Japan Open Superseries yang diikuti oleh rekannya Wang Lin yang menggenggam Denmark dan France Open SS serta Jiang Yanjiao berjaya di China Open SS. Tahun ini muncul lagi talenta-talenta baru yang langsung menyeruak keatas. Wang Shixian yang baru saja menjuarai China Master sebelumnya telah meraih gelar Malaysia Open GPG. Dua rekannya lainnya Wang Xin menjadi kampiun di Philippine Open GPG dan Liu Jian memenangkan Thailand Open GPG. Sekarang China setidaknya memiliki tiga lapis generasi tunggal putri yang berprestasi dalam waktu bersamaan yaitu lapis pertama Xie Xingfang, Zhu Lin dan Lu Lan. Kemudian Wang Yihan, Wang Lin dan Jiang Yanjiao lalu disusul Wang Shixian, Wang Xin dan Liu Jian. Lapis ini belum dihitung pemain-pemain yunior lainnya yang sudah siap merangkak keatas seperti juara Asia Yunior 2008 Li Xuaerui dan juara Asia Yunior 2009, Chen Xiaojia.
Walaupun tidak sehebat di tunggal putri, nomor-nomor lain China tetap terdepan dalam regenerasi. Pemain tunggal putra, Chen Long mulai menebar ancaman bagi pebulutangkis lainnya dengan menjuarai Philippine Open GPG dan menaklukkan maestro bulutangkis Indonesia, Taufik Hidayat. Sektor ganda putri diwakili oleh perkasanya Cheng Su / Zhao Yunlei sejak akhir tahun lalu disamping pasangan Du Jing/Yu Yang yang lebih dulu mapan. Demikian pula di ganda campuran ketika Ma Jin berhasil memerankan pengganti Gao Ling untuk menjadi pasangan Zheng Bo dan meraih juara dibeberapa turnamen. Disamping itu China mengandalkan pasangan lainnya He Hanbing/Yu Yang serta juara China Master 2009 Tao Jiaming/Wang Xiaoli. Wang Xiaoli sendiri juga berprestasi diganda putri bersama Ma Jin. Satu-satunya regenerasi China yang terbilang lemah adalah nomor ganda putra dimana belum terlihat pengganti sekuat pasangan Fu Haifeng/Cai Yun.
"Belajarlah sampai ke negeri China". Sebuah kalimat bijak pantas menjadi pembelajaran bagi insan bulutangkis Indonesia. Kita harus mengakui bahwa China lebih baik dari Indonesia dalam pembinaan bulutangkis. Jadi tidak ada salahnya mempelajari kunci-kunci sukses China. Tetapi itu sulit dilakukan karena China sendiri belum tentu mau berbagi resep kepada negara lain dalam sistem pembinaannya. Minimal Indonesia bisa melihat keseriusan China dengan menggelar dua turnamen sekelas superseries yaitu China Master dan China Open selain ajang Piala Sudirman. Dari turnamen seperti ini pemain-pemain muda akan memperoleh pengalaman bertemu dengan pemain level atas dunia yang sulit didapatkan kalau turnamen itu berlangsung diluar negeri. Ketika China Master kurang diminati pebulutangkis kelas atas dari Indonesia dan Korea, tuan rumah masih mempunyai keuntungan lain dengan naiknya peringkat pemainnya karena mendulang poin yang besar di superseries. Sebagai contoh sang juara, Wang Shixian naik dari peringkat ke-64 menjadi ke-39. Demikian pula rekannya Wang Xin yang menembus semifinal naik dari peringkat 72 pekan sebelumnya menjadi peringkat ke-48. Bukan tidak dengan bekal tersebut, keduanya bisa peringkat 20 besar dunia pada akhir tahun ini.
Berbicara mengenai turnamen Internasional, Indonesia tidak hanya tertinggal dari China tetapi juga dari negeri tetangga Malaysia. Tahun ini Malaysia menggelar turnamen Malaysia Open Superseries dan Malaysia Open Grand Prix Gold. Padahal Malaysia harus menggelar hajatan lainnya yakni Kejuaraan dunia Yunior dan Kejuaraan Asia Yunior serta sebuah turnamen kelas Challenge yang belum ditentukan kepastiannya November mendatang. Indonesia hanya sebanding dengan Korea yang menggelar satu turnamen superseries, satu turnamen Challenge dan satu turnamen International lainnya yakni kejuaraan Asia untuk Korea dan Tangkas Alfamart Open untuk Indonesia. Dalam sebuah acara Ka. Bid. Turnamen PBSI, Mimi Irawan mengatakan bahwa kemungkinan baru tahun 2011, Indonesia bisa menggelar turnamen Grand Prix Gold sebagai tambahan Indonesia Open Superseries.
Keseriusan dalam peningkatan prestasinya diperlihatkan pula oleh India dimana mereka menggelar kejuaraan dunia, India Open Grand Prix Gold dan India Open Grand Prix. Prestasi pemain-pemain India telah memperlihatkan peningkatan yang cukup baik. Pemain putri, Saina Nehwal berhasil menggengam juara Indonesia Open SS, kemudian pasangan ganda putra Rapesh Kummar/Thomas Sanave memenangkan New Zealand Open GP dan teranyar pasangan ganda campuran Diju V/Jwala Gutta menjuarai Taepei Open GPG setelah difinal mengalahkan pasangan Indonesia Hendra A Gunawan/Vita Marissa.
Ilmu China lainnya yang perlu diteliti oleh PBSI adalah masalah cedera pemain. Kita jarang sekali mendengar pemain Pelatnas-nya China absen turnamen karena cedera. Kalaupun ada yang cedera lebih banyak di pertandingan sesama China yang dengan kata lain bahwa cedera-nya pemain China patut dipertanyakan kebenarannya. Pemain Pelatnas Indonesia banyak sekali yang rentan cedera seperti yang pernah dialami Sonny Dwi Kuncoro, Maria Kristin, Firdasari Andrianti, Markis Kido, Muhammad Ahsan dan pemain-pemain papan atas lainnya. Disinilah peran Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) seharusnya berperan menemukan pola latihan yang tepat bagi atlet Indonesia untuk menghindari cedera. Pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi keharusan bagi bulutangkis Indonesia.
Kalau banyak organisasi di Indonesia menganggap Litbang sebagai pelengkap atau pemanis organisasi. Seringkali Litbang dipelesetkan sebagai singkatan dari "sulit berkembang". Maka sudah saatnya paradigma itu berubah. Divisi Litbang PBSI diharapkan menjadi garda terdepan untuk menggali ilmu-ilmu China lainnya untuk ditelaah menjadi pola yang tepat bagi Indonesia. Dengan berperannya Litbang diharapkan pemain-pemain tidak hanya dituntut latihan yang keras tetapi juga latihan yang tepat.
Hendri Kustian, hendri_kustian@yahoo.com
Kolomnis Majalah Jurnal Bulutangkis
Tuesday, September 29, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment