Minggu ini perhatian pecandu bulutangkis tertuju kepada negeri kincir angin Belanda. Turnamen bulutangkis Belanda Terbuka yang digelar merupakan salah satu turnamen bulutangkis klasik. Turnamen ini sudah berlangsung sejak tahun 1932. Ini berarti salah satu turnamen bulutangkis tertua di dunia yang hanya kalah tua dari turnamen All England dan Perancis Terbuka.
Bagi Indonesia, turnamen Belanda Terbuka merupakan sejarah tersendiri. Dimana salah satu gelar Internasional Pertama Indonesia dicatat pada turnamen ini. Pemain legendaris Indonesia, Ferry Sonneville menjadi juara tunggal putra Belanda Terbuka tahun 1956. Sebelumnya Ferry merupakan juara Malaya Open 1955. Bandingkan dengan gelar pertama kali di Perancis Terbuka tahun 1957 dan Jerman Terbuka tahun 1958 oleh pemain yang sama atau gelar All England pertama oleh legendaris lainnya, Tan Joe Hoek 1959. Turnamen klasik lainnya, baru mencatatkan Indonesia sebagai juara di era 70-an. Rudy Hartono merupakan pemain Indonesia pertama juara Denmark Terbuka tahun 1970. Sedangkan di Swedia Terbuka, Indonesia meraih juara pertama kali tahun 1977 melalui Liem Swie King dan pasangan Christian Hadinata / Ade Chandra.
Indonesia yang pernah mengalami masa kelam sebagai kolonial Belanda berhasil menunjukkan prestasi lebih baik di negeri kincir angin tersebut. Ferry Sonneville bukan hanya mencatatkan diri sebagai pemain pertama Indonesia di Belanda Terbuka tetapi juga penyumbang gelar terbanyak buat Indonesia. Ferry meraup juara tahun 1956, 1958, 1960, 1961 dan 1962. Setelah itu, Indonesia meraih juara lagi pada era 80-an melalui pemain tunggal putri Sarwendah Kusuma Wardhani 1987. Sarwendah mengulangi prestasinya sebanyak dua kali tahun 1991-1992. Pemain tunggal putri Indonesia lainnya yang pernah juara Belanda Terbuka adalah Minarti Timur (1990), Susi Susanti (1993) dan Firdasari Andrianti (2006). Sedangkan untuk tunggal putra, keperkasaan Indonesia ditunjukkan oleh Alan Budi Kusuma (1989) dan Hermawan Susanto (1990, 1992). Nomor ganda menyumbang juara melalui Eddy Hartono / Gunawan (1989, 1991), Eddy Hartono / Verawati (1989), Finarsih / Lili Tampi (1992), Denny Kantono / Antonius (1994), Halim Haryanto / Sigit Budiato (2000), Rian Sukmawan / Eng Hian (2006), Endang N / Rani Mundiasti (2006) dan Rian Sukmawan / Yonathan S (2007). Jadi secara total sejak 1932, Indonesia telah meraih 22 gelar juara.
Tuan rumah Belanda justru jarang berpesta di negeri sendiri. Dengan hanya memperoleh sepuluh gelar sejak 1932 merupakan prestasi yang tidak terlalu bagus bagi mereka. Bahkan tiga dari sepuluh gelar tersebut disumbangkan pemain asal Indonesia, Mia Audina. Mia menjuarai nomor tunggal putri tahun 2001-2002 dan ganda putri 2005 bersama Lotte Bruil. Satu gelar juga dipersembahkan pemain imigrannya setelah pemain asal China Yao Jie juara tahun 2003. Enam gelar lainnya diperoleh dari EH Den Hoed Jr (1936), Joke Van Beusekom / Marjan Ridder (1977), Gillian Gilks, ENG / Marjan Ridden (1979), Eline Coone (1989) dan Eline Coone / Erica Van Heuvel (1996).
Perbandingan Indonesia dan Belanda dalam turnamen klasik ini menunjukkan Indonesia mampu lebih maju dari negara yang pernah menjajahnya. Alangkah bangga-nya bangsa ini bila terus menunjukkan prestasi seperti ini. Bahkan prestasi ini seharusnya menginspirasi anak bangsa untuk lebih maju pada bidang-bidang lainnya selain olahraga bulutangkis.
Published :
www.bulutangkis.com (14 Oktober 2008)
www.badminton-indonesia.com (14 Oktober 2008)
Ditulis Oleh : Hendri Kustian
Email : hendri_kustian@yahoo.com
Artikel Bulutangkis : http://kolombulutangkis.blogspot.com/
Catatan bulutangkis : http://catatanbulutangkis.blogspot.com/
Tuesday, October 21, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment