Hari ini 21 April 2008, Wanita Indonesia mengenang seorang tokoh pahlawan nasional bernama Kartini. Wanita yang bernama lengkap Raden Ajeng Kartini ini lahir di Jepara 21 April 1879 mendorong semangat wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan terutama dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah pendidikan untuk para gadis. Dia mendobrak feodalisme yang membatasi hak pendidikan wanita yang hanya sampai sekolah dasar. Itu pun hanya putri-putri bangsawan yang bisa mengecap pendidikan. Keinginan seorang Kartini menuntut hak-hak wanita Indonesia khususnya Jawa tertuang dalam surat-suratnya pada sahabat Eropa nya yang terangkum dalam buku dalam bahasa Belanda Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Masa-masa itu, anak-anak perempuan dipingit lalu dinikahkan dengan laki-laki yang terkadang tidak pernah dikenal sebelumnya. Tidak ada profesi apapun bagi wanita kecuali urusan dapur, sumur dan kasur. Semangat Kartini-lah mendorong wanita Indonesia untuk mendapatkan persamaan hak-haknya dengan kaum pria dikemudian hari. Dengan Jasa Kartini yang meninggal diusia muda pada umur 25 tahun ini, pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 2 Mei 1964 menetapkannya sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan tanggal 21 April sebagai hari besar nasional.
Persamaan hak antara laki-laki dan wanita sudah hampir menggejala di semua bidang termasuk Olahraga. Isu yang paling sering dituntut adalah persamaan hadiah yang disediakan dalam suatu turnamen. Perjuangan para pemain bulutangkis putri sudah ada sejak tahun 1990-an. Tetapi saat itu terdapat perbedaan untuk perhitungan point tunggal putra dan putri. Untuk tunggal putra dalam satu set permainan selesai pada point 15 sedang untuk putri hanya pada point 11. Seiring perubahan point menjadi 21 untuk semua nomor maka lsebuah logika sederhana adalah layak buat pemain putri mendapatkan hadiah yang sama. Entah karena pertimbangan itu atau mengikuti cabang olahraga tenis, induk organisasi bulutangkis dunia BWF memutuskan persamaan hadiah pada turnamen Internasional sejak awal tahun ini.
Jika sebelumnya sebelumnya juara tunggal putra mendapat hadiah sebesar 8 persen dan tunggal putri mendapat hadiah 6,9 persen dari hadiah total maka sekarang sama-sama mendapat 7,5 persen. Persamaan hadiah juga berlaku antara nomor ganda sehingga tidak ada perbedaan jumlah hadiah bagi juara ganda putra, putri dan campuran. Dengan perubahan ini maka pemain putri Denmark, Tine Rasmussen tercatat sebagai juara tunggal putri pertama yang mendapatkan hadiah sama dengan juara tunggal putra. Sedangkan untuk juara ganda putri, pasangan China Yang Wei / Zhang Jiwen menjadi pasangan pertama yang memperoleh hadiah yang sama dengan juara ganda putra. Prestasi para pemain putri ini dicetak pada turnamen pembuka Superseries, Malaysia Open 2008.
Bagi bulutangkis Indonesia diharapkan semangat Kartini tidak hanya menjadi inspirasi persamaan hak tetapi juga persamaan kewajiban untuk memberikan prestasi bagi bangsa. Tidak bisa dipungkiri bahwa prestasi pemain putri Indonesia jauh tertinggal dari prestasi pemain putra. Bandingkan prestasi pemain putra yang merebut 13 kali Piala Thomas dengan pemain putri yang baru menghasil 3 kali gelar juara Piala Uber. Pasang surut prestasi Kartini-Kartini bulutangkis tetap patut dihargai. Kendala postur seperti tinggi badan sering kali disebut-sebut sebagai penghalang bersaing dengan pemain putri China, Korea maupun dari daratan Eropa. Walaupun demikian argumen tersebut tidak bisa memjadi pembenaran untuk gagal berprestasi.
Melihat sejenak ke belakang prestasi pemain putri Indonesia mencapai jaya-nya pada era 1990-an saat pemain-pemain seperti Susi Susanti, Sarwenda Kusumawardhani, Mia Audina, Finarsih, Lili Tampi, Eliza Nathael dan Zelin Resiana yang bukan hanya berhasil mengangkat Piala Uber tetapi juga menjadi juara di berbagai turnamen Internasional. Ini cukup kontradiktif dengan prestasi putri Indonesia sejak awal 2000-an sampai sekarang. Hanya sesekali saja pemain putri Indonesia bisa berprestasi di tunggal putri dan ganda putri dan belum ada yang mampu tampil juara di turnamen bergengsi seperti All England dan Kejuaraan Dunia kecuali pada nomor ganda campuran. Bahkan dibanding dengan era 70-an atau 80-an, prestasi pemain putri era tersebut masih lebih baik. Pada era 70-an, Tim putri merebut Uber Cup 1975 serta pasangan Verawaty Pajrin / Imelda Wiguna menjadi juara All England tahun 1979. Sedang era-80 ditandai oleh prestasi juara dunia Verawaty Pajrin 1980 dan Indonesia Open 1982 serta disusul Ivana Lie sebagai juara Indonesia Open 1983.
Semangat Kartini diharapkan menjadi kobaran semangat pebulutangkis putri Indonesia ditengah keterpurukan prestasi saat ini. Memang di negeri ini persamaan hak bagi atlet putri belum sepenuhnya diperoleh. Menurut sebuah sumber yang layak dipercaya, pemain putri yang sedang bertanding diluar negeri kadang-kadang merangkap sebagai tukang masak buat tim. Sebuah kondisi yang diharapkan tidak membuat fokus pemain putri terpecah dalam suatu pertandingan. Dengan semangat Kartini, semoga pebulutangkis putri Indonesia bisa mengejar persamaan tidak hanya hak tetapi sesuatu yang lebih penting, Prestasi. Meminjam sebagian kalimat Ibu Kartini, Habis Gelap mudah-mudahan terbitlah prestasi pemain putri Indonesia.
Published :
www.bulutangkis.com (21 April 2008)
www.badminton-indonesia.com (21 April 2008)
www.sekolahbadminton.com (21 April 2008
Wednesday, October 8, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment