Wednesday, October 8, 2008

TINJAUAN KRITIS TERHADAP BAJANG KIREK

"Bajang Kirek, dua puluh tahun menjadi tokoh yang paling banyak dibicarakan sekarang ini. Dan mungkin juga untuk waktu yang agak panjang. Ketika berangkat ke Riyadh, ia masih sebagai pemain bulutangkis dengan masa depan depan yang belum menentu. Kini, ia menjadi tumpuan harapan. Besok malam dilapangan tertutup Tokyo akan menghadapi Naughton, bintang Swedia yang berusia dua puluh tiga tahun..." Demikian kalimat pembuka tulisan Kate Dewantara pada harian suara Pancasila mengenai seorang tokoh bernama Bajang Kirek.
Tahun 1995, Kebanggaan Indonesia bukanlah sang juara dunia Hariyanto Arbi atau Ardi Wiranata (Juara Indonesia Open '95) bahkan bukan juga Alan Budi Kusuma (Juara Malaysia Open '95). Kebanggaan Indonesia tertanam pada diri murid Rudy Hartono yang bernama Bajang Kirek. Tetapi semua itu tidak terjadi didunia nyata melainkan hanya dalam sebuah cerita fiksi. Kisah diatas merupakan petikan dari novel setebal 421 halaman karangan Tuti Ngingung terbitan Gramedia yang berjudul "Opera Bulutangkis 1995". Novel ini merupakan cerita bersambung pada harian Kompas yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku. Dikisahkan Bajang Kirek adalah seorang pemain muda dengan bakat alami dan memiliki karakter kuat berhasil menjadi hero saat Indonesia merayakan setengah abad kemerdekaannya.
Ditengah sepinya prestasi bulutangkis Indonesia saat ini, maka membaca buku ini bisa menjadi sedikit hiburan. Apalagi buku ini merupakan satu-satunya novel fiksi yang menceritakan perjalanan karir seorang pemain bulutangkis. Kisah yang dilengkapi dengan bumbu percintaan ini bukan hanya menarik untuk dibaca tetapi juga menarik untuk dikritisi.
Tokoh Bajang Kirek digambarkan sebagai sosok yang merdeka dan menolak segala macam label dagang untuk dikenakannya. Perseteruannya dengan sebuah perusahaan alat olahraga terbesar, Tashida Coorporation digambarkan dalam kalimat berikut :" Ia, Tashida, boleh memasang apa saja dilapangan. Boleh memberikan duit terbesar. Tapi ia tidak berhak mengatur manusia, setidaknya saya. Saya tak mau memakai kondom Tashida, misalnya ia bikin...". Bajang Kirek selalu menggunakan kaos polos dan raket tanpa merk apapun. Sikap ini menjadi bagian yang sangat melekat pada tokoh Bajang Kirek.
Sikap anti produk Bajang Kirek tentu kontra produktif dengan kemajuan yang diinginkan dunia bulutangkis saat ini. Dimana bulutangkis berusaha mengejar ketertinggalannya dari cabang lain untuk menjadi olahraga industri. Dukungan sponsor memegang peranan penting ditengah erah globalisasi saat ini sehingga tidak jelas maksud pengarang membuatkan karakter sang tokoh seperti itu.
Bisa jadi pengarang ingin menanamkan semangat nasionalisme kepada pembaca sehingga tidak terlena dengan penguasaan korporasi asing. Tetapi alangkah baiknya kalau pengarang menjadikan tokoh Bajang Kirek bukan sebagai tokoh anti produk dagang melainkan sebagai tokoh yang konsisten menggunakan merk dalam negeri. Dengan itu sang pengarang bisa mengarahkan pembaca untuk termotivasi pada produk nasional
Kondisi yang memang patut disayangkan dimana bulutangkis yang sudah mendarah daging di bumi pertiwi tidak ditunjang dengan perkembangan Industri peralatannya. Pemain-pemain nasional Indonesia dibayar untuk menggunakan raket dan produk lainnya bermerk luar negeri. Sudah saatnya masyarakat Indonesia terutama kalangan pengusaha untuk memikirkan kebanggaan lain buat bangsa ini. Sebuah brand Indonesia yang digunakan dalam skala global dengan ditunjang reputasi prestasi di lapangan akan membuat kebanggaan kita sebagai bangsa akan berlipat ganda.
Pada bagian akhir novel "Opera Bulutangkis" diceritakan pertarungan Bajang Kirek melawan sebuah robot canggih bernama B-2025. Bak dwi tarung seorang pecatur dunia melawan sebuah super komputer, pertandingan Bajang Kirek melawan robot berlangsung sengit. Hasilnya tentu bisa ditebak, sang tokoh utama menjadi pemenang. Kalau boleh menerka apa yang dipikirkan sang pengarang, mungkin ini adalah cermin superiornya prestasi Indonesia tahun 1995. Pemain-pemain seperti Ardi Wiranata, Alan Budi Kusuma, Hariyanto Arbi, Susi Susanti, Ricky Subagja, Rexy Mainaky dan kawan kawan sangat perkasa dipercaturan bulutangkis dunia. Oleh sebab itu hanya super robot yang bisa mengimbangi pemain-pemain Indonesia. Sayang saat ini prestasi pemain Indonesia kembali menurun. Bagi Indonesia sekarang, tidak perlu berpikir mencari super robot untuk ditaklukkan tetapi perlu memikirkan strategi mengatasi pemain negara lain. Kejayaan bulutangkis Indonesia diharapkan segera kembali.

Published :
www.bulutangkis.com (10 Juni 2008)
www.badminton-indonesia.com (09 Juni 2008)

No comments: