Wednesday, October 8, 2008

Dua Tunas Bangsa Menuju Juara Dunia

Di negeri yang bertabur bintang bulutangkis ini sangat wajar seandainya kita menemukan berderet buku biografi para pemain bintang tersebut. Namun kenyataannya sangat sulit menemukan buku-buku tersebut. Hal yang sangat kontras dibandingkan dengan bertaburannya kisah tokoh-tokoh politik pada pentas negeri ini. Dalam khazanah buku di Indoensia, hanya terdapat dua buku biografi atlet bulutangkis. Buku pertama berjudul "Magnet Bulutangkis" yang mengisahkan perjalanan karir Taufik Hidayat dan "Smash 100 Watt" yang bercerita lika liku prestasi Hariyanto Arbi. Kedua buku yang mengisahkan kehidupan dua juara dunia tersebut dikarang oleh wartawan Tabloid Bola, Broto Happy W.

Kehidupan kedua atlet sukses tersebut menarik untuk dibedah guna mendalami kersamaannya mereka di masa tunasnya. Masa dimana Hariyanto Arbi (HA) dan Taufik Hidayat (TH) kecil ditempa menjadi intan yang cemerlang. Mencermati lebih dalam kedua biografi ini maka paling tidak kita menemukan empat persamaan. Persamaan yang menarik untuk diketahui terutama oleh calon atlet atau orang tua calon atlet bulutangkis.

Yang pertama, kepekaan pelatih terhadap talenta-talenta berbakat dan menempanya menjadi pemain yang berkualitas. Peran Lie Sumirat sebagai pelatih Taufik dan Rusmanto yang merupakan pelatih pertama Hariyanto terlihat dari petikan pada buku biografi mereka sebagai berikut :
Buku TH : "Saat itu pelatih utamanya adalah mantan pemain nasional, Lie Sumirat. Ditangan Lie, intan yang ada pada Taufik terus diasah untuk dijadikan permata yang bernilai tinggi. Lie, yang pada masa jayanya tahun 1970-an dianggap pemain paling unik dan esentrik, rupanya menularkan bakat yang dimilikinya. Taufik dianggapnya paling berbakat. Indra keenam Lie mengatakan, kalau ditangani secara benar, Taufik akan menjadi bintang di masa depan" (hal 4) .
Buku HA : " Penampilannya klemar klemer. Kesannya lemas dan kurang meledak-ledak. Tetapi, dengan segala kekurangan itu, Hari berusaha menutupinya dengan berlatih tekun dan sungguh-sungguh. Apalagi, ketika anak didiknya itu pertama kali mengayun raket di lapangan, Rusmanto justru menjadi tertarik. Cara memegang raket Hari sudah benar. Ini berbeda dengan anak seusianya. Ayunan tangan dan langkah kaki (foot work) juga menjanjikan. Melihat segala kelebihan Hari tersebut, layaknya mutiara yang belum terasa, Kusmanto sudah mulai mengarahkan abak asuhnya itu untuk bisa bermain menyerang" (hal 2-3).

Kedua, Mereka menjadikan bintang terdahulu sebagai salah satu model untuk membentuk pola permainannya yaitu Lie Sumirat pada Taufik Hidayat dan Liem Swie King pada Hari. Ini sangat kental terlihat saat kita menyaksikan gaya kedua nya saat bertanding.
TH : "Pak Lie tidak hanya ngomong. Kalau sedang melatih, dia kerap terjun langsung memberikan pukulan dan gerakan-gerakan yang menipu lawan. Ternyata pukulan-pukulan aneh dan menipu lawan itu kini menjadi senjata andalan saya ditengah lapangan," ungkap Taufik (hal 7)
HA : "Hari pun mengidolakan King. Menurutnya, King memiliki keistimewaan, yaitu smes loncat yang sangat bagus. Karena itu, dia bercita-cita ingin seperti sang idola. Sejak remaja, Hari juga berlatih jumping smash layaknya King." (hal 46)

Ketiga, Dukungan besar dari keluarga turut memotivasi sang atlet untuk berprestasi.
TH : "Perkenalannya dengan olahraga tepok bulu angsa bermula dari usia 7-8 tahun. Itu terjadi karena orang tuanya, Aris Haris dan Enok Dartilah, tidak menghedaki Taufik larut dengan sepak bola" (hal 3), "Satu hal yang membuatnya bisa seperti sekarang adalah karena disiplin tinggi yang diterapkan orang tua" (hal 5).
HA : "Sebelum meninggal dunia karena menderita penyakit diabetes pada tahun 1992, Arbi Senior selalu memberi nasihat kepada anak-anaknya agar sungguh-sungguh dan disiplin berlatih" (hal 7), "Peran Ny. Hastuti juga besar dalam mendukung Hari. Setiap putranya itu berlatih lari di sore hari bersama pelatih Kusmanto di lapangan Ploso, ia selalu menemaninya meskipun harus naik becak dari tempat tinggalnya di kampung gang 4" (hal 7-8).

Keempat, Totalitas dalam latihan yang merupakan kunci sukses.
TH : " Pengalaman menjadi juara serta mendapat piala dan uang memacu dirinya untuk berprestasi lebih baik lagi. Taufik pun makin rajin berlatih bersama Lie. Dibenaknya saat itu, menjadi juara sangatlah menyenangkan" hal 7.
HA : " Kepatuhan Hari itu diantaranya saat diberi latihan fisik berupa lari oleh pelatih di lapangan Bitingan Kudus. Tanpa harus diawasi dengan ketat Hari pasti akan melaksanakan semua arahan Kusmanto dengan baik dan tanpa kata protes yang muncul dimulutnya. (hal 10)

Kesamaan-kesamaan pada masa penggemblengan keduanya akhirnya berbuah manis. Keduanya sama-sama mempersembahkan gelar juara dunia buat Indonesia. Hariyanto Arbi berhasil merebut juara dunia tunggal putra tahun 1995 di Lausanne Swiss setelah di final mengalahkan pemain Korea Park Sung Wo 15-11 15-8. Prestasi tersebut dikuti oleh Taufik Hidayat sepuluh tahun kemudian saat kejuaraan dunia 2005 di Los Angelas, Amerika Serikat. Prestasi kedua dilengkapi dengan berbagai gelar juara Internasional lainnya. Tentu yang sangat bergengsi bagi Hari ketika menjadi juara All England dua tahun berturut-turut tahun 1993 dan 1994 sedangkan Taufik merebut medali emas Olimpiade Athena 2004. Kisah sukses Hari dan Taufik dapat dijadikan benchmark bagi tunas-tunas bangsa yang sedang merentas karis menuju atlet bulutangkis berprestasi. Prestasi spektakuler keduanya diharapkan menjadi inspirasi buat pemain-pemain masa depan Indonesia.

Published :
www.bulutangkis.com (28 April 2008)
www.badminton-indonesia.com (28 April 2008)

No comments: